KONFLIK SPATIAL ANTARA MASYARAKAT LOKAL, PEMERINTAH, DAN
PENGELOLA AKOMODASI PARIWISATA DI SUNGAI AYUNG
oleh: Nararya Narottama
Pengantar
Dua dasawarsa
terakhir, selain daerah pesisir pantai, tren perkembangan pariwisata di Bali cendrung
mengarah pada daerah-daerah pedesaan. Terutama daerah aliran sungai yang
menwarkan pemandangan indah serta suasana yang nyaman, walaupun letaknya berada di tebing-tebing yang curam,
Hal ini dapat dilihat dari pesatnya pertumbuhan hotel dan vila di daerah
tersebut. Seperti yang terjadi di kawasan Ubud dan sekitarnya. Deretan hotel
dan vila mewah kini telah bertengger di sepanjang tebing sungai Campuhan,
Sungai Ayung dan sungai Petanu.
Sungai Ayung
merupakan sungai yang terbesar di Bali. Melintasi lima daerah kabupaten dan
kota, panjang sungai ini mecapai 65 km (Wardi, 2008). Sungai Ayung memiliki
peran yang sangat penting, berfungsi sebagai penyuplai air bagi derah-daerah
bawahan, khususnya daerah – daerah yang berada di kawasan DAS bagian tengan dan
bagian hulu. Sungai Ayung, secara umum dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan air bersih, keperluan irigasi Subak, air MCK, pertanian dan
peternakan, serta aktifitas religius. Selain itu, Sungai Ayung juga
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk pariwisata
Sejalan dengan perkembangan
industri pariwisata di Bali yang amat pesat, perkembangan jumlah penduduk juga
semakin padat. DAS Ayung, yang sebenarnya merupakan public property, terkadang
menjadi private property yang sering menimbulkan konflik dalam pemanfaatannya.
Diantara adalah konflik kepentingan antara masyarakat lokal, pemerintah serta
investor, seperti konflik antara pengusaha pariwisata, konflik pengusaha
pariwisata dengan masyarakat lokal, investor dengan pengelola lembaga Subak.
Konflik lain seperti pelanggaran-pelangggaran sempadan jurang/sungai oleh pihak
pengusaha pariwisata maupun karena pemukiman warga.
Salah satu konflik
yang sempat mencuat dan mendapat perhatian serius adalah konflik antara warga dan pengelola hotel di
daerah Ubud. Warga Desa Bongkasa
Pertiwi, Abiansemal Badung, berencana memagari view hotel-hotel yang berdiri
disepanjang Sungai Ayung. Hal ini terjadi karena belasan hotel yang berdiri
megah di sebelah timur Sungai Ayung tidak memberikan kompensasi apapun (karena hotel-hotel tersebut berdiri di
daerah Gianyar, bukan di daerah Badung,
namun memanfaatkan view dari daerah badung (Wilayah Desa Bongkasa
Pertiwi) .Lihat lampiran
Wilayah Desa Bongkasa
Pertiwi (Wikipedia, 2011)
|
Sungai Ayung
membelah dua kabupaten, sebelah barat sungai adalah wilayah Badung, sebelah timur milik wilayah
Gianyar, yang berdiri puluhan hotel dan mamanfaatkan view dari Badung.
Hotel-hotel tersebut berdiri tepat di pinggir tebing.
Sebaliknya, di
Badung tak ada satupun bangunan akomodasi pariwisata, karena dalam RTRW Bali
maupun Badung tidak diperbolehkan membangun di sempadan sungai. Pihak Desa
Bongkasa Pertiwi sudah kesal, sudah
berkali-kali meminta perhatian dari para pemilik hotel, untuk memberikan
kompensasi, namun tidak digubris sama sekali. Sehingga mereka memutuskan akan
menutup view sungai Ayung. (Radar Bali, 25 Oktober 2010)
Sungai Ayung membelah Kab. Gianyar (Timur) dan Kab. Badung
(Barat)(Google Earth,2011)
|
Konflik yang
terjadi di atas, hanya salah satu dari beberapa konflik antara masyarakat
dengan pengelola pariwisata. Ssebuah contoh kasus, dimana ‘view’ memberikan
suatu potensi konflik yang cukup besar. Disebabkan oleh tidak adanya kontribusi
dari penikmat ‘view’ (pihak hotel) kepada masyarakat (petani penggarap ‘view’).
Walaupun akhirnya kasus-kasus seperti itu bisa diselesaikan dengan kesepakatan,
sebuag landasan hukum yang jelas perlu untuk diterapkan. Apalagi pembangunan
hotel di tebing sempadan sungai jelas-jelas melanggar aturan.
Kesepakatan antara
masyarakat dengan investor bukanlah suatu ukuran bahwa masalah telah selesai,
investor biasanya terpaksa untuk sepakat karena menghindari anarkisme massa.
Hal ini berarti potensi konflik masih mungkin terjadi. Tanpa aturan yang jelas,
konflik akan terus terjadi. Untuk menghindari konflik antara investor dan
masyarakat, maka pemerintah harus membuat tata ruang yang jelas bagi iklim
investasi. Selama ini, keberadaan tata ruang cendrung diremehkan di Indonesia,
padahal tata ruang sangat penting untuk menampung kepentingan semua
stakeholder. Keberadaan tata ruang sangat penting, diperlukan untuk menghindari
benturan langsung yang frontal dan horizontal (dengan masyarakat)
Pengertian Umum
Untuk membedah permasalahan diatas dari sudut pandang konflik
spatial, maka diperlukan pengertian umum untuk mempermudah pembahasan.
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang
udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup
dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan
wujud struktural dan pola pemanfaatan
ruang. Yang dimaksud dengan wujud struktural pemanfaatan ruang adalah susunan
unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan
buatan yang secara hirarkis dan struktural berhubungan satu dengan lainnya
membentuk tata ruang; diantaranya meliputi hirarki pusat pelayanan seperti
pusat kota, lingkungan; prasarana jalan seperti jalan arteri, kolektor, lokal
dan sebagainya. Sementara pola pemanfaatan ruang adalah bentuk pemanfaatan
ruang yang menggambarkan ukuran fungsi, serta karakter kegiatan manusia dan
atau kegiatan alam; diantaranya meliputi pola lokasi, sebaran permukiman, tempat
kerja, industri, dan pertanian, serta pola penggunaan tanah perdesaan dan
perkotaan.
Daerah DAS Ayung:
1. Daerah hulu : mulai dari daerah Penikit di Kecamatan Petang ke
utara sampai dengan daerah Kintamani yang dibatasi oleh jalan
Kintamani-Singaraja, dan Plaga Kecamatan Petang yang dibatasi oleh punggung
perbukitan hutan Puncak Mangu. Daerah bagian hulu DAS Ayung terletak pada
topografi miring sampai sangat curam.
2. Daerah bagian tengah : mulai dari daerah Penikit di Kecamatan
Petang ke selatan sampai di Abiansemal. Daerah bagian tengah ini terletak pada
topografi datar sampai bergelombang.
3. Daerah bagian hilir : mulai dari Abiansemal ke selatan sampai
muara sungai Ayung di pantai Padanggalak. Kecamatan Denpasar Timur hampir
seluruhnya memiliki topografi datar.
DAS Ayung, sebagian
besar dimanfaatkan sebagai tegalan, sawah, semak belukar, perkebunan dan hutan,
dari pengamatan, kondisi Sungai Ayung di bagian hulu masih alami. Namun di
pertengahan hingga hilir dikembangkan berbagai aktifitas pertanian, peternakan
, perikanan, pemukiman dan pariwisata. Di sepanjang tepi sungai Ayung,
didirikan begitu banyak usaha hotel dan restoran, selain itu, Sungai Ayung juga
dimnafaatkan untuk kegiatan raftng.
Dampak Pembangunan
Pencemaran Sungai
Ayung paling banyak terjadi di bagian tengah dan hilir sungai. Pencemaran ini
selain dari pemukiman warga, juga datang dari aktivitas pariwisata. Pembangunan
akomodasi pariwisata seperti hotel, restoran, villa dan lain-lain memberikan
dampak yang sangat signifikan. Limbah-limbah padat dan cair dibuang begitu saja
tanpa memikirkan dampaknya di masa depan.
Akibat pembangunan
akomodasi pariwisata yang tidak memperhatikan tata ruang, bencana tanah longsor
mulai membayangi. Di Sungai Ayung, Desa Sayan, Ubud, Gianyar, kondisi tebingnya
sangat memprihatinkan. Kawasan yang tahun sebelumnya tampak menyegarkan
pandangan mata karena hijaunya kawasan tersebut kini mulai berubah dengan
munculnya bangunan-bangunan sarana pariwisata. Sebuah fasilitas-fasilitas
pariwisata berupa vila mulai bermunculan yang tanpa memperhatikan dampak
lingkungan. Tebing Sungai Ayung yang dahulunya hijau ditumbuhi pepohonan kini
berubah gersang akibat ditumbuhi bangunan vila. Hal ini tentunya membuat daya
serap air di kawasan tersebut makin berkurang. Tanah longsor pun tak bisa
dielakkan. Seperti tampak pada bagian timur Sungai Ayung. Longsoran tanah
tampak terjadi di kawasan tersebut, yang di atasnya terdapat sebuah bangunan
hotel yang diduga kuat belum mengantongi izin. Sumber Bali Post yang enggan
dikorankan ini menyebutkan aktivitas pembangunan hotel tersebut dilakukan
sekitar setahun yang lalu. Hotel yang dibangun di tanah milik warga Banjar
Kutuh, Sayan, Ubud ini sama sekali tidak memperhatikan kawasan serapan air.
Akibatnya, selain longsor, banjir tak bisa dihindari bilamana terjadi hujan
lebat. (www.balipost.co.id, 2009)
Alih fungsi tebing untuk
akomodasi pariwisata, sebelum (bawah)
dan sesudah (atas)-(Praganingrum,
2010)
|
Penegakan hukum
dalam mengatasi kerusakan masalah lingkungan seperti kawasan tebing Sungai
Ayung ini pemerintah harus berani mengambil langkah yang tepat. Jangan sampai
ada konflik yang berlarut-larut. Jika melihat fakta di lapangan, kerusakan
lingkungan selama ini lebih banyak karena faktor ekonomi. Salah satunya pembangunan pariwisata
yang tidak mempunyai konsep jelas. Termasuk dalam pengaturan tata ruang yang amburadul sehingga banyak terjadi
pelanggaran.
Dengan terjadinya
kontak, sentuhan atau interaksi antara desa adat Bali dengan kepariwisataan, di
samping memberikan dampak yang sangat positif bagi kehidupan masyarakat Bali,
tidak dapat dihindari adalah dampak negatifnya yang bila dibiarkan akan
mengganggu stabilitas dan bahkan mengancam kehidupan dan kelestarian budaya dan
masyarakat Bali. Berbagai permasalahan tersebut di antaranya masalah
kependudukan, beralih fungsinya lahan pertanian, dilanggarnya sempadan pantai
dan kawasan suci (untuk kepentingan ritual), diusiknya areal kawasan suci dengan pembangunan
akomodasi (hotel atau bungalow) dan restaurant dan yang sungguh mengerikan
adalah masalah kependudukan, yang dalam waktu kurang dari setahun jumlah
penduduk di Bali meningkat hampir 50 % dan umumnya mereka datang dari Jawa dan
Lombok, guna mengais rezeki di Bali khususnya di kawasan pariwisata. (treznadewi.blogspot.com,
2010)
Semua pihak
menyadari bahwa pembangunan pariwisata di Bali memberikan dampak positif bagi
kesejahtraan masyarakat, tetapi di balik dampak positif itu tentu tidak lepas
dari sisi negatifnya, yang bila tidak ditangani dengan sungguh-sungguh nantinya
dapat merupakan penyakit yang dapat menggerogoti budaya Bali yang akarnya
adalah agama Hindu; daun, bunga, dan buahnya adalah kepariwisataan, yang telah
nyata dinikmati oleh wisatawan dan profitnya dinikmati langsung oleh kalangan
pengelola kepariwisataan. Bila pengembang atau investor hanya berorientasi pada
profit belaka dan mengeksploitasi habis-habisan budaya Bali, tanpa
memperhatikan pelestarian budaya dan masyarakat Bali, maka mereka (para
investor itu) adalah drakula budaya, yang hanya mengisap darah dan potensi
budaya Bali, lalu pergi seperti dinyatakan oleh Bagus (Bali Post, 23 Juni
1999).
Pihak-Pihak Yang Terlibat
dan Berkepentingan
Dalam konfik
diatas, ada tiga elemen utama yang
terlibat. Selain itu, ada berbagai konflik kepentingan atas pemanfaatan sungai
tersebut. Tiga unsur tersebut antara lain dari pihak pemerintah, pihak
pengelola pariwisata (investor, organisasi pariwisata, pelaku pariwisata),
dan pihak masyarakat (lokal maupun
general)
Pihak Pemerintah
Peranan pemeruntah
sangatlah vital dalam menangani masalah ini. Sebagai pembuat kebijakan, maka
pemerintah mestinya memberikan ketegasan. Dalam hal ini, seharusnya ada
persamaan visi dan misi antara pemerintah Kabupaten Gianyar dan Kabupaten
Badung. Sebagai contoh, pemanfaatan
sempadan sungai ayung yang amburadul, dimana sempadan sungai adalah kawasan
sepanjang kiri-kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi
primer yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi
sungai.
·
Pemerintah Daerah bertanggung
jawab terhadap kelestarian dan kesehatan lingkungan serta kesejahteraan
masyarakatnya. Oleh karena itu PEMDA, dari mulai Bupati (Bupati Badung dan
Bupati Gianyar) dan dinas-dinas yang terkait harus menjadi anggota tim
pengembang pariwisata yang terpadu.
Harus ada sinergi antara kegiatan pengembangan kawasan wisata dengan program
kerja dari dinas-dinas terkait yang terdiri dari:
·
Dinas Pariwisata sebagai dinas
yang paling bertanggung jawab terhadap kegiatan pariwisata di Bali, tentu saja
termasuk kegiatan wisata di Badung dan Gianyar.
·
Dinas Pekerjaan Umum yang
bertanggung jawab untuk memperbaiki dan meningkatkan infrastruktur (khususnya
jalan dan jembatan) di desa yang dijadikan daerah tujuan wisata, dalam hal ini
di Kabupaten Gianyar dan Badung.
·
Dinas Kehutanan sebagai
penguasa kawasan hutan (hutan lindung) yang bertugas mengawasi
kegiatan-kegiatan di hutan lindung, membuat peraturan dan tata tertib kawasan
hutan lindung serta memberi penyuluhan kepada masyarakat dan wisatawan untuk
menjaga kelestarian alam. Termasuk juga DAS Ayung yang membelah Gianyar dan
Badung
·
Dinas Perindustrian dan
Perdagangan, yang memberikan perijinan kegiatan usaha, termasuk usaha dalam hal
akomodasi pariwisata.
·
Dinas Pertanian dan Tanaman
Pangan, memiliki peran untuk membantu masyarakat desa untuk mengembangkan
pertanian. Daerah pertanian merupakan salah satu objek yang akan dikunjungi
dalam kegiatan pariwisata, namun ironisnya, lahan pertanian semakin berkurang.
Dinas ini dapat berperan untuk memberikan penyuluhan mengenai pentingnya lahan
agar tidak semua lahan dijual kepada investor
·
Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan berperan untuk memastikan bahwa kegiatan parwisata tidak akan
merusak lingkungan disamping itu badan inilah yang menerbitkan rekomendasi
mengenai AMDAL dan perijinan
Selain pihak
diatas, sebenarnya masih banyak instansi yang terkait, seperti Badan Pertanahan
Nasional, Kepolisian dan lain-lain
Pelaku Wisata Swasta,
Dalam kasus ini,
yang terlibat adalah para operator
wisata termasuk pengelola hotel-hotel yang ada di DAS Ayung. Di satu sisi,
mereka merupakan penopang pariwisata, memberikan kontribusi yang besar dalam
dunia pariwisata, namun di sisi lain, mereka cendrung berorientasi bisnis,
sering melakukan pelanggaran, termasuk pelanggaran untuk membangun hotel di DAS
Ayung.
Mereka yang
melanggar harus ditegur dan dihukum, walaupun pada dasarnya merekalah yang memilki pasar wisata.
Disamping itu, mereka juga memiliki
tanggung jawab untuk melakukan kegiatan CSR (Corporate Social Responsibility)
dalam bentuk 'community development' untuk masyarakat yang bermukim disekitar
kawasan wisata tersebut.
Pihak Masyarakat
Khususnya masyarakat
Badung dan Gianyar yang bermukim disekitar DAS Ayung, yang dijadikan sebagai daerah tujuan wisata.
Masyarakat harus tahu dampak dan manfaat
apa yang bisa mereka peroleh dari hadirnya pariwisata. Bisakah mereka menerima
kegiatan pariwisata dan maukah mereka berpartisipasi? Masyarakat memiliki hak
untuk menerima atau menolak pengembangan pariwisata. Masyarakat juga harus
memiliki kendali terhadap pengembangaan pariwisata. Oleh karena itu mereka
harus menjadi tokoh sentral dalam pengembangan pariwisata. Selain itu, ada
lembaga adat, antara lain adalah:
Desa Adat
Sesuai dengan
ketentuan Perda Tingkat I di Bali Nomor 06 tahun 1986 ditetapkan tentang
kependudukan, fungsi dan peranan desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum
adat yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan drama pergaulan hidup masyarakat
Umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan kahyangan tiga yang mempunyai
wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri.
Subak
Subak adalah
masyarakat hukum adat yang bersifat sosial agraris religius, secara historis
tumbuh dan berkembang sebagai organisasi tata air di tingkat usaha tani. Subak
sebagai satu lembaga adat yang bergerak sebagai organisasi petani sawah dan
tegalan melandasi diri pada adat dan agama.
Sesuai SK Bupati
Kepala Daerah Tk II Gianyar tanggal 15 Desember 1993 dengan jumlah subak yang
ada sebanyak 481 subak, sampai saat ini (2004) jumlah saat ini mengalami
perkembangan. Sesuai dengan SK Bupati Gianyar No. 278 tahun 2005 tanggal 15
Agustus 2005 jumlah subak sebanyak 518 subak yang tersebar di 7 kecamatan
Gianyar. (www.gianyarkab.go.id)
Policies and Programs
Sejumlah butir
penting yang mencerminkan prinsip pariwisata berkelanjutan muncul pada beberapa
produk hukum antara lain UU No. 9/1990 tentang Kepariwisataan dan GBHN 1999.
Walaupun paradigma pembangunan berkelanjutan belum menjadi wacana publik,
nilai-nilainya dalam UU No. 9/1990 sudah ditemukan di beberapa pasal secara
parsial. Sebut saja, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat lokal, berbasis
budaya dan integrasi sosial, bottom-up dan ekoturisme.
UU No. 9/1990
tentang Kepariwisataan di samping menyiratkan penyelenggaraan pariwisata yang
memperhatikan kelestarian, keseimbangan, keterpaduan ekologi dan keberlanjutan,
juga telah menempatkan masyarakat untuk berperan serta dalam penyelenggaraan
dan pengambilan keputusan. GBHN 1999 tampak makin memberi arah keberlanjutan
yang jelas dalam pariwisata, seperti menempatkan pariwisata berpijak pada
kebudayaan tradisional, sebagai wahana persahabatan antarbangsa, serta juga
mendorong ekonomi kerakyatan. Selain itu, didukung oleh:
- · Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya hidup dan ekosistemnya.
- · Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan.
- · Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang dari Pariwisata.
- · Perda No 16 th 2009 Prov, Bali Pasal 73
(1) Kawasan budidaya tanaman pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
60 ayat (1) huruf a, ditetapkan dengan kriteria:
a. Memenuhi kesesuaian lahan sebagai kawasan pertanian lahan basah
b.Pemanfaatan semua lahan-lahan yang sudah mendapatkan pengairan
tetapi belum dimanfaatkan sebagai lahan sawah, khususnya di wilayah Kabupaten
Tabanan, Badung, Gianyar, Jembrana, dan Buleleng;
c. Pengoptimalan produktivitas lahan-lahan sawah yang sudah ada
melalui program intensifikasi di seluruh wilayah kabupaten/kota; dan
d. Pencegahan dan pembatasan alih fungsi lahan sawah beririgasi
untuk kegiatan budidaya lainnya, seperti akomodasi/fasilitas pariwisata,
industri, perumahan skala besar, kecuali untuk penyediaan prasarana umum di
seluruh wilayah kabupaten/kota.
Pasal 108 (5) Arahan peraturan zonasi sempadan jurang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) huruf e, mencakup:
a. pelarangan pendirian bangunan pada jurang dan kawasan sempadan
jurang dalam jarak 2 (dua) kali kedalaman jurang dihitung dari bibir jurang
kearah bidang datar; dan
b. pengendalian kegiatan budidaya pada kawasan jurang dan sempadan
jurang.
Sempadan jurang
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf e, ditetapkan dengan kriteria:
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf e, ditetapkan dengan kriteria:
a. daratan di tepian jurang yang memiliki kemiringan lereng minimal
45% (empat puluh lima persen), kedalaman minimal 5 (lima) meter; dan daerah
datar bagian atas minimal 11 (sebelas) meter; dan
b. sempadan jurang sebagaimana dimaksud pada huruf a, harus memiliki
lebar sekurang-kurangnya dua kali kedalaman jurang dan tidak kurang dari 11
(sebelas) meter dihitung dari tepi jurang ke arah bidang datar (Bali Post,
2009)
Kendala
Pihak yang
berwenang manangani masalah ini adalah pemerintah, sebagai mediator antara
pemilik modal dan masyarakat yang merasa terganggu. Pemerintah harusnya bisa
mengayomi selutuh masyarakatnya.
Kesulitan dan
kendala yang dihadapi adalah adanya konflik kepentingan antara pihak-pihak
diatas, selain itu, kendala komunikasi juga menjadi masalah penting, Jika
pemerintah provinsi mau, seharusnya seluruh pihak diajak duduk dalam satu meja
untuk melaksanakan dialog, agar semua pihak dapat menyampaikan aspirasi
masing-masing. Selain itu, jika pihak-pihak diatas mau berbesar hati dan
mengalah, maka persoalan ini akan cepat diselesaikan.
Konflik ini terjadi
ketika ruang pertanian dieksploitasi sedemikian rupa, sehingga pihak pengelola
pariwisata memperoleh untung berlimpah, namun tidak memberikan konstribusi
apapun bagi masyarakt dan petani penggarap, lebih parah lagi karena sengketa
ini terjadi di perbatasan antara Kabupaten Badung dan Gianyar.
Corporate Social
Responsibility (CSR)
CSR atau tanggung
jawab sosial perusahaan saat ini telah menjadi konsep yang kerap kita dengar,
walau definisinya sendiri masih menjadi perdebatan di antara para praktisi
maupun akademisi. Sebagai sebuah konsep yang berasal dari luar, tantangan
utamanya memang adalah memberikan pemaknaan yang sesuai dengan konteks
Indonesia.
Tujuannya adalah
agar semua pihak dapat beranjak dari pemahaman yang memadai ketika berbicara
tentang CSR, yaitu sebagai suatu wahana yang dapat dipergunakan untuk mencapai
tujuan pembangunan berkelanjutan. Dengan pemahaman yang demikian, CSR tidak
akan disalahgunakan hanya sebagai marketing
gimmick untuk melakukan corporate
greenwash atau pengelabuan citra perusahaan belaka.
Pada kasus ini,
pengelola hotel berdalih bahwa mereka telah memberikan kontribusi kepada
masyarakat di daerah mereka, hal tersebut tidaklah salah, namun bagi masyarakat
pemilik lahan, mereka tidak memperoleh manfaat apapun. Untuk itu, pemilik
harusnya paham dan mau mengambil jalan tengah. Misalkan, melakukan kontrak
tanah petani, agar tidak dibangun akomodasi wisata, harus tetap berupa lahan pertanian.
Agar pertanian tetap lestari, penggarap lahan memperoleh keuntungan, dan
pengelola lahan dapat view yang
indah.
Denpasar, 2011
Nararya Narottama
Referensi:
- Arida, Sukma, Krisis Lingkungan Bali dan Peluang Ekowisata, Input Jurnal Ekonomi dan Sosial, 2008
- Dephut RI, Kerangka Kerja Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Indonesia, 2008
- Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009 – 2029
- Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 63/PRT/1993 Tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai, 1993
- Suganda, Emirhadi. dkk, Pengelolaan Lingkungan dan Kondisi Masyarakat Pada Wilayah Hilir Sungai; Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 13, No. 2, Desember 2009: 143-153
- http://treznadewi.blogspot.com/2010/11/peranan-desa-adat-dalam-menunjang.html, 2010
- kmb16, www.balipost.co.id, 20 Januari 2009
- http://www.gianyarkab.go.id/profil/lembaga-adat/, 2009
- http://www.googleearth.com, 2011
- http://www.wikipedia.com 2011
- Praganingrum, 2010
No comments:
Post a Comment