Wednesday, December 7, 2011

KONFLIK SPATIAL ANTARA MASYARAKAT LOKAL, PEMERINTAH, DAN PENGELOLA AKOMODASI PARIWISATA DI SUNGAI AYUNG

KONFLIK SPATIAL ANTARA MASYARAKAT LOKAL, PEMERINTAH, DAN PENGELOLA AKOMODASI PARIWISATA DI SUNGAI AYUNG
oleh: Nararya Narottama
Pengantar     
            Dua dasawarsa terakhir, selain daerah pesisir pantai, tren perkembangan pariwisata di Bali cendrung mengarah pada daerah-daerah pedesaan. Terutama daerah aliran sungai yang menwarkan pemandangan indah serta suasana yang nyaman, walaupun  letaknya berada di tebing-tebing yang curam, Hal ini dapat dilihat dari pesatnya pertumbuhan hotel dan vila di daerah tersebut. Seperti yang terjadi di kawasan Ubud dan sekitarnya. Deretan hotel dan vila mewah kini telah bertengger di sepanjang tebing sungai Campuhan, Sungai Ayung dan sungai Petanu.
            Sungai Ayung merupakan sungai yang terbesar di Bali. Melintasi lima daerah kabupaten dan kota, panjang sungai ini mecapai 65 km (Wardi, 2008). Sungai Ayung memiliki peran yang sangat penting, berfungsi sebagai penyuplai air bagi derah-daerah bawahan, khususnya daerah – daerah yang berada di kawasan DAS bagian tengan dan bagian hulu. Sungai Ayung, secara umum dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air bersih, keperluan irigasi Subak, air MCK, pertanian dan peternakan, serta aktifitas religius. Selain itu, Sungai Ayung juga dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk pariwisata
            Sejalan dengan perkembangan industri pariwisata di Bali yang amat pesat, perkembangan jumlah penduduk juga semakin padat. DAS Ayung, yang sebenarnya merupakan public property, terkadang menjadi private property yang sering menimbulkan konflik dalam pemanfaatannya. Diantara adalah konflik kepentingan antara masyarakat lokal, pemerintah serta investor, seperti konflik antara pengusaha pariwisata, konflik pengusaha pariwisata dengan masyarakat lokal, investor dengan pengelola lembaga Subak. Konflik lain seperti pelanggaran-pelangggaran sempadan jurang/sungai oleh pihak pengusaha pariwisata maupun karena pemukiman warga.
            Salah satu konflik yang sempat mencuat dan mendapat perhatian serius adalah  konflik antara warga dan pengelola hotel di daerah Ubud.  Warga Desa Bongkasa Pertiwi, Abiansemal Badung, berencana memagari view hotel-hotel yang berdiri disepanjang Sungai Ayung. Hal ini terjadi karena belasan hotel yang berdiri megah di sebelah timur Sungai Ayung tidak memberikan  kompensasi apapun  (karena hotel-hotel tersebut berdiri di daerah Gianyar, bukan di daerah Badung,  namun memanfaatkan view dari daerah badung (Wilayah Desa Bongkasa Pertiwi) .Lihat lampiran

Wilayah Desa Bongkasa Pertiwi (Wikipedia, 2011)

            Sungai Ayung membelah dua kabupaten, sebelah barat sungai adalah  wilayah Badung, sebelah timur milik wilayah Gianyar, yang berdiri puluhan hotel dan mamanfaatkan view dari Badung. Hotel-hotel tersebut berdiri tepat di pinggir tebing.
            Sebaliknya, di Badung tak ada satupun bangunan akomodasi pariwisata, karena dalam RTRW Bali maupun Badung tidak diperbolehkan membangun di sempadan sungai. Pihak Desa Bongkasa Pertiwi sudah kesal,  sudah berkali-kali meminta perhatian dari para pemilik hotel, untuk memberikan kompensasi, namun tidak digubris sama sekali. Sehingga mereka memutuskan akan menutup view sungai Ayung. (Radar Bali, 25 Oktober 2010)
Sungai Ayung  membelah Kab. Gianyar (Timur) dan Kab. Badung (Barat)(Google Earth,2011)

            Konflik yang terjadi di atas, hanya salah satu dari beberapa konflik antara masyarakat dengan pengelola pariwisata. Ssebuah contoh kasus, dimana ‘view’ memberikan suatu potensi konflik yang cukup besar. Disebabkan oleh tidak adanya kontribusi dari penikmat ‘view’ (pihak hotel) kepada masyarakat (petani penggarap ‘view’). Walaupun akhirnya kasus-kasus seperti itu bisa diselesaikan dengan kesepakatan, sebuag landasan hukum yang jelas perlu untuk diterapkan. Apalagi pembangunan hotel di tebing sempadan sungai jelas-jelas melanggar aturan.
            Kesepakatan antara masyarakat dengan investor bukanlah suatu ukuran bahwa masalah telah selesai, investor biasanya terpaksa untuk sepakat karena menghindari anarkisme massa. Hal ini berarti potensi konflik masih mungkin terjadi. Tanpa aturan yang jelas, konflik akan terus terjadi. Untuk menghindari konflik antara investor dan masyarakat, maka pemerintah harus membuat tata ruang yang jelas bagi iklim investasi. Selama ini, keberadaan tata ruang cendrung diremehkan di Indonesia, padahal tata ruang sangat penting untuk menampung kepentingan semua stakeholder. Keberadaan tata ruang sangat penting, diperlukan untuk menghindari benturan langsung yang frontal dan horizontal (dengan masyarakat)
Pengertian Umum
Untuk membedah permasalahan diatas dari sudut pandang konflik spatial, maka diperlukan pengertian umum untuk mempermudah pembahasan.
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Rencana Tata Ruang adalah  hasil perencanaan wujud  struktural dan pola pemanfaatan ruang. Yang dimaksud dengan wujud struktural pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan buatan yang secara hirarkis dan struktural berhubungan satu dengan lainnya membentuk tata ruang; diantaranya meliputi hirarki pusat pelayanan seperti pusat kota, lingkungan; prasarana jalan seperti jalan arteri, kolektor, lokal dan sebagainya. Sementara pola pemanfaatan ruang adalah bentuk pemanfaatan ruang yang menggambarkan ukuran fungsi, serta karakter kegiatan manusia dan atau kegiatan alam; diantaranya meliputi pola lokasi, sebaran permukiman, tempat kerja, industri, dan pertanian, serta pola penggunaan tanah perdesaan dan perkotaan.

Daerah DAS Ayung:
1. Daerah hulu : mulai dari daerah Penikit di Kecamatan Petang ke utara sampai dengan daerah Kintamani yang dibatasi oleh jalan Kintamani-Singaraja, dan Plaga Kecamatan Petang yang dibatasi oleh punggung perbukitan hutan Puncak Mangu. Daerah bagian hulu DAS Ayung terletak pada topografi miring sampai sangat curam.
2. Daerah bagian tengah : mulai dari daerah Penikit di Kecamatan Petang ke selatan sampai di Abiansemal. Daerah bagian tengah ini terletak pada topografi datar sampai bergelombang.
3. Daerah bagian hilir : mulai dari Abiansemal ke selatan sampai muara sungai Ayung di pantai Padanggalak. Kecamatan Denpasar Timur hampir seluruhnya memiliki topografi datar.
            DAS Ayung, sebagian besar dimanfaatkan sebagai tegalan, sawah, semak belukar, perkebunan dan hutan, dari pengamatan, kondisi Sungai Ayung di bagian hulu masih alami. Namun di pertengahan hingga hilir dikembangkan berbagai aktifitas pertanian, peternakan , perikanan, pemukiman dan pariwisata. Di sepanjang tepi sungai Ayung, didirikan begitu banyak usaha hotel dan restoran, selain itu, Sungai Ayung juga dimnafaatkan untuk kegiatan raftng.

Dampak Pembangunan
            Pencemaran Sungai Ayung paling banyak terjadi di bagian tengah dan hilir sungai. Pencemaran ini selain dari pemukiman warga, juga datang dari aktivitas pariwisata. Pembangunan akomodasi pariwisata seperti hotel, restoran, villa dan lain-lain memberikan dampak yang sangat signifikan. Limbah-limbah padat dan cair dibuang begitu saja tanpa memikirkan dampaknya di masa depan.
            Akibat pembangunan akomodasi pariwisata yang tidak memperhatikan tata ruang, bencana tanah longsor mulai membayangi. Di Sungai Ayung, Desa Sayan, Ubud, Gianyar, kondisi tebingnya sangat memprihatinkan. Kawasan yang tahun sebelumnya tampak menyegarkan pandangan mata karena hijaunya kawasan tersebut kini mulai berubah dengan munculnya bangunan-bangunan sarana pariwisata. Sebuah fasilitas-fasilitas pariwisata berupa vila mulai bermunculan yang tanpa memperhatikan dampak lingkungan. Tebing Sungai Ayung yang dahulunya hijau ditumbuhi pepohonan kini berubah gersang akibat ditumbuhi bangunan vila. Hal ini tentunya membuat daya serap air di kawasan tersebut makin berkurang. Tanah longsor pun tak bisa dielakkan. Seperti tampak pada bagian timur Sungai Ayung. Longsoran tanah tampak terjadi di kawasan tersebut, yang di atasnya terdapat sebuah bangunan hotel yang diduga kuat belum mengantongi izin. Sumber Bali Post yang enggan dikorankan ini menyebutkan aktivitas pembangunan hotel tersebut dilakukan sekitar setahun yang lalu. Hotel yang dibangun di tanah milik warga Banjar Kutuh, Sayan, Ubud ini sama sekali tidak memperhatikan kawasan serapan air. Akibatnya, selain longsor, banjir tak bisa dihindari bilamana terjadi hujan lebat. (www.balipost.co.id, 2009)
Alih fungsi tebing untuk akomodasi pariwisata, sebelum (bawah)
dan sesudah (atas)-(Praganingrum, 2010)

            Penegakan hukum dalam mengatasi kerusakan masalah lingkungan seperti kawasan tebing Sungai Ayung ini pemerintah harus berani mengambil langkah yang tepat. Jangan sampai ada konflik yang berlarut-larut. Jika melihat fakta di lapangan, kerusakan lingkungan selama ini lebih banyak karena faktor  ekonomi. Salah satunya pembangunan pariwisata yang tidak mempunyai konsep jelas. Termasuk dalam pengaturan  tata ruang yang amburadul sehingga banyak terjadi pelanggaran.
            Dengan terjadinya kontak, sentuhan atau interaksi antara desa adat Bali dengan kepariwisataan, di samping memberikan dampak yang sangat positif bagi kehidupan masyarakat Bali, tidak dapat dihindari adalah dampak negatifnya yang bila dibiarkan akan mengganggu stabilitas dan bahkan mengancam kehidupan dan kelestarian budaya dan masyarakat Bali. Berbagai permasalahan tersebut di antaranya masalah kependudukan, beralih fungsinya lahan pertanian, dilanggarnya sempadan pantai dan kawasan suci (untuk kepentingan ritual), diusiknya  areal kawasan suci dengan pembangunan akomodasi (hotel atau bungalow) dan restaurant dan yang sungguh mengerikan adalah masalah kependudukan, yang dalam waktu kurang dari setahun jumlah penduduk di Bali meningkat hampir 50 % dan umumnya mereka datang dari Jawa dan Lombok, guna mengais rezeki di Bali khususnya di kawasan pariwisata. (treznadewi.blogspot.com, 2010)
            Semua pihak menyadari bahwa pembangunan pariwisata di Bali memberikan dampak positif bagi kesejahtraan masyarakat, tetapi di balik dampak positif itu tentu tidak lepas dari sisi negatifnya, yang bila tidak ditangani dengan sungguh-sungguh nantinya dapat merupakan penyakit yang dapat menggerogoti budaya Bali yang akarnya adalah agama Hindu; daun, bunga, dan buahnya adalah kepariwisataan, yang telah nyata dinikmati oleh wisatawan dan profitnya dinikmati langsung oleh kalangan pengelola kepariwisataan. Bila pengembang atau investor hanya berorientasi pada profit belaka dan mengeksploitasi habis-habisan budaya Bali, tanpa memperhatikan pelestarian budaya dan masyarakat Bali, maka mereka (para investor itu) adalah drakula budaya, yang hanya mengisap darah dan potensi budaya Bali, lalu pergi seperti dinyatakan oleh Bagus (Bali Post, 23 Juni 1999).

Pihak-Pihak Yang Terlibat dan Berkepentingan
            Dalam konfik diatas, ada tiga elemen  utama yang terlibat. Selain itu, ada berbagai konflik kepentingan atas pemanfaatan sungai tersebut. Tiga unsur tersebut antara lain dari pihak pemerintah, pihak pengelola pariwisata (investor, organisasi pariwisata, pelaku pariwisata), dan  pihak masyarakat (lokal maupun general)
Pihak Pemerintah
            Peranan pemeruntah sangatlah vital dalam menangani masalah ini. Sebagai pembuat kebijakan, maka pemerintah mestinya memberikan ketegasan. Dalam hal ini, seharusnya ada persamaan visi dan misi antara pemerintah Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Badung.  Sebagai contoh, pemanfaatan sempadan sungai ayung yang amburadul, dimana sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri-kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai.
·         Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap kelestarian dan kesehatan lingkungan serta kesejahteraan masyarakatnya. Oleh karena itu PEMDA, dari mulai Bupati (Bupati Badung dan Bupati Gianyar) dan dinas-dinas yang terkait harus menjadi anggota tim pengembang  pariwisata yang terpadu. Harus ada sinergi antara kegiatan pengembangan kawasan wisata dengan program kerja dari dinas-dinas terkait yang terdiri dari:
·         Dinas Pariwisata sebagai dinas yang paling bertanggung jawab terhadap kegiatan pariwisata di Bali, tentu saja termasuk kegiatan wisata di Badung dan Gianyar.
·         Dinas Pekerjaan Umum yang bertanggung jawab untuk memperbaiki dan meningkatkan infrastruktur (khususnya jalan dan jembatan) di desa yang dijadikan daerah tujuan wisata, dalam hal ini di Kabupaten Gianyar dan Badung.
·         Dinas Kehutanan sebagai penguasa kawasan hutan (hutan lindung) yang bertugas mengawasi kegiatan-kegiatan di hutan lindung, membuat peraturan dan tata tertib kawasan hutan lindung serta memberi penyuluhan kepada masyarakat dan wisatawan untuk menjaga kelestarian alam. Termasuk juga DAS Ayung yang membelah Gianyar dan Badung
·         Dinas Perindustrian dan Perdagangan, yang memberikan perijinan kegiatan usaha, termasuk usaha dalam hal akomodasi pariwisata.
·         Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, memiliki peran untuk membantu masyarakat desa untuk mengembangkan pertanian. Daerah pertanian merupakan salah satu objek yang akan dikunjungi dalam kegiatan pariwisata, namun ironisnya, lahan pertanian semakin berkurang. Dinas ini dapat berperan untuk memberikan penyuluhan mengenai pentingnya lahan agar tidak semua lahan dijual kepada investor
·         Badan Pengendalian Dampak Lingkungan berperan untuk memastikan bahwa kegiatan parwisata tidak akan merusak lingkungan disamping itu badan inilah yang menerbitkan rekomendasi mengenai AMDAL dan perijinan
            Selain pihak diatas, sebenarnya masih banyak instansi yang terkait, seperti Badan Pertanahan Nasional, Kepolisian dan lain-lain

Pelaku Wisata Swasta,
            Dalam kasus ini, yang terlibat adalah  para operator wisata termasuk pengelola hotel-hotel yang ada di DAS Ayung. Di satu sisi, mereka merupakan penopang pariwisata, memberikan kontribusi yang besar dalam dunia pariwisata, namun di sisi lain, mereka cendrung berorientasi bisnis, sering melakukan pelanggaran, termasuk pelanggaran untuk membangun hotel di DAS Ayung.
            Mereka yang melanggar harus ditegur dan dihukum, walaupun pada dasarnya  merekalah yang memilki pasar wisata. Disamping itu,  mereka juga memiliki tanggung jawab untuk melakukan kegiatan CSR (Corporate Social Responsibility) dalam bentuk 'community development' untuk masyarakat yang bermukim disekitar kawasan wisata tersebut.
Pihak Masyarakat
            Khususnya masyarakat Badung dan Gianyar yang bermukim disekitar DAS Ayung, yang  dijadikan sebagai daerah tujuan wisata. Masyarakat harus tahu  dampak dan manfaat apa yang bisa mereka peroleh dari hadirnya pariwisata. Bisakah mereka menerima kegiatan pariwisata dan maukah mereka berpartisipasi? Masyarakat memiliki hak untuk menerima atau menolak pengembangan pariwisata. Masyarakat juga harus memiliki kendali terhadap pengembangaan pariwisata. Oleh karena itu mereka harus menjadi tokoh sentral dalam pengembangan pariwisata. Selain itu, ada lembaga adat, antara lain adalah:

 Desa Adat
            Sesuai dengan ketentuan Perda Tingkat I di Bali Nomor 06 tahun 1986 ditetapkan tentang kependudukan, fungsi dan peranan desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan drama pergaulan hidup masyarakat Umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan kahyangan tiga yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri.

Subak
            Subak adalah masyarakat hukum adat yang bersifat sosial agraris religius, secara historis tumbuh dan berkembang sebagai organisasi tata air di tingkat usaha tani. Subak sebagai satu lembaga adat yang bergerak sebagai organisasi petani sawah dan tegalan melandasi diri pada adat dan agama.
            Sesuai SK Bupati Kepala Daerah Tk II Gianyar tanggal 15 Desember 1993 dengan jumlah subak yang ada sebanyak 481 subak, sampai saat ini (2004) jumlah saat ini mengalami perkembangan. Sesuai dengan SK Bupati Gianyar No. 278 tahun 2005 tanggal 15 Agustus 2005 jumlah subak sebanyak 518 subak yang tersebar di 7 kecamatan Gianyar. (www.gianyarkab.go.id)

Policies and Programs
            Sejumlah butir penting yang mencerminkan prinsip pariwisata berkelanjutan muncul pada beberapa produk hukum antara lain UU No. 9/1990 tentang Kepariwisataan dan GBHN 1999. Walaupun paradigma pembangunan berkelanjutan belum menjadi wacana publik, nilai-nilainya dalam UU No. 9/1990 sudah ditemukan di beberapa pasal secara parsial. Sebut saja, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat lokal, berbasis budaya dan integrasi sosial, bottom-up dan ekoturisme.
            UU No. 9/1990 tentang Kepariwisataan di samping menyiratkan penyelenggaraan pariwisata yang memperhatikan kelestarian, keseimbangan, keterpaduan ekologi dan keberlanjutan, juga telah menempatkan masyarakat untuk berperan serta dalam penyelenggaraan dan pengambilan keputusan. GBHN 1999 tampak makin memberi arah keberlanjutan yang jelas dalam pariwisata, seperti menempatkan pariwisata berpijak pada kebudayaan tradisional, sebagai wahana persahabatan antarbangsa, serta juga mendorong ekonomi kerakyatan. Selain itu, didukung oleh:

  • ·       Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya hidup dan ekosistemnya.
  • ·         Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan.
  • ·         Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang dari Pariwisata.
  • ·         Perda No 16 th 2009 Prov, Bali Pasal 73
(1) Kawasan budidaya tanaman pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a, ditetapkan dengan kriteria:
a. Memenuhi kesesuaian lahan sebagai kawasan pertanian lahan basah
b.Pemanfaatan semua lahan-lahan yang sudah mendapatkan pengairan tetapi belum dimanfaatkan sebagai lahan sawah, khususnya di wilayah Kabupaten Tabanan, Badung, Gianyar, Jembrana, dan Buleleng;
c. Pengoptimalan produktivitas lahan-lahan sawah yang sudah ada melalui program intensifikasi di seluruh wilayah kabupaten/kota; dan
d. Pencegahan dan pembatasan alih fungsi lahan sawah beririgasi untuk kegiatan budidaya lainnya, seperti akomodasi/fasilitas pariwisata, industri, perumahan skala besar, kecuali untuk penyediaan prasarana umum di seluruh wilayah kabupaten/kota.
Pasal 108 (5) Arahan peraturan zonasi sempadan jurang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) huruf e, mencakup:
a. pelarangan pendirian bangunan pada jurang dan kawasan sempadan jurang dalam jarak 2 (dua) kali kedalaman jurang dihitung dari bibir jurang kearah bidang datar; dan
b. pengendalian kegiatan budidaya pada kawasan jurang dan sempadan jurang.

Sempadan jurang 
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf e, ditetapkan dengan kriteria:
a. daratan di tepian jurang yang memiliki kemiringan lereng minimal 45% (empat puluh lima persen), kedalaman minimal 5 (lima) meter; dan daerah datar bagian atas minimal 11 (sebelas) meter; dan
b. sempadan jurang sebagaimana dimaksud pada huruf a, harus memiliki lebar sekurang-kurangnya dua kali kedalaman jurang dan tidak kurang dari 11 (sebelas) meter dihitung dari tepi jurang ke arah bidang datar (Bali Post, 2009)

Kendala
            Pihak yang berwenang manangani masalah ini adalah pemerintah, sebagai mediator antara pemilik modal dan masyarakat yang merasa terganggu. Pemerintah harusnya bisa mengayomi selutuh masyarakatnya.
            Kesulitan dan kendala yang dihadapi adalah adanya konflik kepentingan antara pihak-pihak diatas, selain itu, kendala komunikasi juga menjadi masalah penting, Jika pemerintah provinsi mau, seharusnya seluruh pihak diajak duduk dalam satu meja untuk melaksanakan dialog, agar semua pihak dapat menyampaikan aspirasi masing-masing. Selain itu, jika pihak-pihak diatas mau berbesar hati dan mengalah, maka persoalan ini akan cepat diselesaikan.
            Konflik ini terjadi ketika ruang pertanian dieksploitasi sedemikian rupa, sehingga pihak pengelola pariwisata memperoleh untung berlimpah, namun tidak memberikan konstribusi apapun bagi masyarakt dan petani penggarap, lebih parah lagi karena sengketa ini terjadi di perbatasan antara Kabupaten Badung dan Gianyar.

Corporate Social Responsibility (CSR)
            CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan saat ini telah menjadi konsep yang kerap kita dengar, walau definisinya sendiri masih menjadi perdebatan di antara para praktisi maupun akademisi. Sebagai sebuah konsep yang berasal dari luar, tantangan utamanya memang adalah memberikan pemaknaan yang sesuai dengan konteks Indonesia.
            Tujuannya adalah agar semua pihak dapat beranjak dari pemahaman yang memadai ketika berbicara tentang CSR, yaitu sebagai suatu wahana yang dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Dengan pemahaman yang demikian, CSR tidak akan disalahgunakan hanya sebagai marketing gimmick untuk melakukan corporate greenwash atau pengelabuan citra perusahaan belaka.
            Pada kasus ini, pengelola hotel berdalih bahwa mereka telah memberikan kontribusi kepada masyarakat di daerah mereka, hal tersebut tidaklah salah, namun bagi masyarakat pemilik lahan, mereka tidak memperoleh manfaat apapun. Untuk itu, pemilik harusnya paham dan mau mengambil jalan tengah. Misalkan, melakukan kontrak tanah petani, agar tidak dibangun akomodasi wisata, harus tetap berupa lahan pertanian. Agar pertanian tetap lestari, penggarap lahan memperoleh keuntungan, dan pengelola lahan dapat view yang indah.
Denpasar, 2011

Nararya Narottama
Referensi:

  • Arida, Sukma, Krisis Lingkungan Bali dan Peluang Ekowisata, Input Jurnal Ekonomi dan Sosial, 2008
  • Dephut RI, Kerangka Kerja Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Indonesia, 2008
  • Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009 – 2029
  • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 63/PRT/1993 Tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai, 1993
  • Suganda, Emirhadi. dkk, Pengelolaan Lingkungan dan Kondisi Masyarakat Pada Wilayah Hilir Sungai; Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 13, No. 2, Desember 2009: 143-153
  • http://treznadewi.blogspot.com/2010/11/peranan-desa-adat-dalam-menunjang.html, 2010             
  • kmb16, www.balipost.co.id, 20 Januari 2009
  • http://www.gianyarkab.go.id/profil/lembaga-adat/, 2009
  • http://www.googleearth.com, 2011
  • http://www.wikipedia.com 2011
  • Praganingrum, 2010



No comments:

Post a Comment