Wednesday, December 7, 2011

Pariwisata Budaya dan Komodifikasi, Suatu Pergulatan Kebudayaan

Pariwisata Budaya dan Komodifikasi, Suatu Pergulatan Kebudayaan
Oleh : Nararya Narottama
Pendahuluan
            Bali merupakan salah satu pulau kecil yang berada di Indonesia, pesonanya telah membuat pulau ini terkenal ke manca negara. Banyak wisatawan ingin berkunjung ke pulau ini, bahkan beberapa julukan seperti “The Last Paradise on Earth”, “The Island of Thousands Temples” disematkan kepada Bali.
Selain itu, Bali kemudian menjadi salah satu andalan pemasok devisa bagi Indonesia
Sejak akhir abad lalu, kita sudah mendengar luas berbagai informasi tentang Globalisasi, terutama dalam kaitannya dengan kecaman yang diberikan atas dampak buruk Globalisasi (Neo-Liberal) atau liberalisasi perdagangan dunia. 

Banyak gerakan sosial, cendekiawan humanis, tokoh-tokoh spiritual dan masyarakat, termasuk para pemuka agama, yang mengecam globalisasi karena dinilai bermotif dasar keuntungan ekonomi jangka pendek serta menyebabkan dominasi kepentingan ekonomi atas kemanusiaan (www.globalization.about.com). 
            Bali sebagai salah satu tujuan wisata dunia telah mengalami banyak perubahan, terjadi pada lingkungan, sosial, hingga serat-serat kebudayaannya. Pengaruh globalisasi tampaknya sangat sulit dibendung oleh masyarakat Bali. Manisnya gula pariwisata, telah membuat banyak pendatang datang dan mencoba peruntungannya di tempat ini. Hal ini tampaknya menambah beban persoalan yang sedang terjadi di Bali.
            Bagi kaum akademisi, globalisasi dianggap sebagai fenomena yang sangat menarik untuk dicermati, karena dewasa ini terlihat dengan jelas berlangsungnya proses transformasi global (D. Held et al., 1999) yang makin nyata dalam bidang politik, tatanan teritorial kenegaraan, budaya, dan ekonomi.
             Untuk lebih memperdalam mengenai dampak dari globalisasi, terutama dari sudut tinjau akulturasi budaya, dalam pandangan pariwisata, maka penulis bermaksud mengangkat mengenai fenomena tersebut dalam proposal thesis yang berjudul “GLOBALISASI DAN NGABEN MASSAL, KREMASI MASSAL TRADISIONAL DI DESA PAKRAMAN MUNCAN-KARANGASEM; PERSEPEKTIF KAJIAN PARIWISATA”

Pembahasan
            Artikel “Identitas dan Komodifikasi Budaya dalam Pariwisata Budaya Bali” oleh Agus Muriawan Putra (Dosen Pariwisata Udayana), pada jurnal Analisis Pariwisata Volume. 8, No. 2, 2008, membahas mengenai praktek-praktek komodifikasi terhadap kebudayaan Bali sebagai dampak dari negatif pariwisata. Pada bab pendahuluan, beliau menulis mengenai pentingnya perencanaan pariwisata, terutama dalam rangka menghadapi efek negatif pariwisata, pengaruh pariwisata di masyarakat, serta pencemaran terhadap kebudayaan
            Selain alam, Bali juga memiliki daya tarik lain, seperti budaya. Wisata budaya dapat berkisar pada beberapa hal, anatar lain kesenian, tata busana, boga, upacara adat, ketrampilan-keterampilan khusus dan lain-lain. Objek-objek tersebut terkadang dikemas hanya yntuk menarik lebih banyak turis asing, dan terkadang berbagai “kompromi” dipergunakan. Disini, perlu kearifan dan kerjasama berbagai pihak agar tidak terjadi pelecehan terhadap praktik religi yang bersangkutan
            Pariwisata mengakibatkan munculnya “makelar-makelar budaya”, yang mencari keuntungan dengan tetesan keringat orang lain dengan dalih pertunjukan kebudayaan. Para seniman dan pekerja seni merasakan kurangnya rasa pembinaan dan perjuangan nasib mereka dalam pemanfaatan seni dan budaya dalam mendukung pariwisata.
            Pitana (1999) mengemukakan bahwa proses internasionalisasi, terutama yang terjadi melalui aktivitas pariwisata, telah menjadikan Bali sebagai masyarakat yang multibudaya. Namun demikian, pada saat yang bersamaan, terjadi pula proses yang arahnya berlawanan, yaitu suatu proses ke dalam, mencari identitas ke masa lalu, yang bisa disebut sebagai proses “tradisionalisasi”. Proses ini antara lain ditandai dengan menguatnya gerakan-gerakan ‘kembali ke masa lalu’, kepada ikatan yang intinya merupakan pemujaan leluhur. Gerakan kewargaan ini berjalan seiring dengan meningkatnya kegairahan beragama, dan ini memunculkan fenomena meningkatnya tingkat religiusitas masyarakat
            Pelaksanaan ritual di Bali semakin tampaknya mengalami peningkatan, baik dari segi frekuensi maupun kemegahanya, yang dulu langka, kini sering dilakukan (reinvented tradition). Di beberapa daerah pariwisata, yang sering dituduh kehilangan ke-Bali-annya, kegiatan ritual berjalan lebih semarak dan khidmat. Kalau dilihat dalam kurun waktu yang panjang, jelas manusia dan kebudayaan Bali sudah berubah, namun esensi Bali masih tetap kuat. Kalau fenomena-fenomena di atas dikaji secara mendalam, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat Bali secara sadar ataupun tidak sadar telah mendialogkan antara proses internasionalisasi dan tradisionalisasi. Perubahan sosial-budaya yang tejadi melalui proses dialog antara kekuatan internasionalisasi dan tradisionalisasi ini menyebabkan manusia Bali seakan-akan melakukan “konversi”, suatu proses yang oleh Clifford Geertz disebut sebagai internalconversion, yang merupakan muara dari kombinasi antara rasionalisasi, orthodoxysasi, pragmatisisasi, dan tradisionalisasi. Manusia Bali kembali menyadari identitas dirinya.
            Komodifikasi dan keaslian sosial budaya setempat, selalu menjadi topik dalam pembicaraan dampak pariwisata MacNaught (1982) mengatakan bahwa pariwisata telah mencabut masyarakat dari bentuk asli ekspresi budayanya, karena tuntutan wisatawan. Para wisatawan mancanegara sering mengeluh bahwa tari-tarian daerah terlalu panjang, lamban, repetitif atau monoton. Sebagai antisipasinya, “makelar-makelar” kebudayaan, yaitu mereka yang bergerak dalam industri pariwisata “memaksa” masyarakat untuk mengubah pertunjukan tersebut, agar sesuai dengan keinginan wisatawan.
            Sebagai akibat kecenderungan masyarakat untuk meniru pola hidup wisatawan dengan kebudayaan yang dibawanya, masyarakat dengan cepat kehilangan keaslian dan identitasnya, kebudayaan luar dipandang lebih maju dan bernilai lebih tinggi. Kerusakan nilai-nilai tradisional ini erat kaitannya dengan perkembangan komersialisasi dan materialisme dalam hubungan antarmanusia, yang merupakan salah satu konsekuensi yang umum dari pariwisata.
            Di Bali, kesenian telah banyak mengalami perubahan, dan orientasi seniman bukan semata-mata kepada seni yang religius, melainkan lebih banyak kepada orientasi ekonomi (komersial), di mana nilai seni sudah diukur dengan uang (harga pasar). Kesenian sudah mengalami proses komodifikasi.
            Beberapa kasus komodifikasi antaralain, perubahan Puri Peliatan menjadi homestay, pernikahan secara adat Hindu oleh orang asing yang bukan beragama Hindu, usaha komersialisasi Karya Eka Dasa Rudra antara pihak asing dan Parisadha. Menurut Dr. Brian Stoddart, bahwa sudah banyak dan sering terdengar peringatan dari banyak kalangan, bahwa Bali sudah mengalami erosi atau paling tidak terjadi perubahan pada nilai-niali kulturalnya. Hal ini terlihat dari upacara pembakaran mayat (ngaben) yang mereka lakukan serta repertoire seni budaya yang berbau komersial. Seakan-akan demi pariwisata nilai budaya dan tata nilai kemasyarakatannya menjadi luntur dan berubah dari keasliannya
            Modal utama pariwisata Bali, hingga Bali bisa bertahan sampai saat ini adalah ajaran-ajaran agama Hindu yang dianutnya. Antara lain ajaran mengenai Panca Sradha, Karma Phala dan Reinkarnasi. Jika ada tamu, ada kesadaran dalam masyarakat untuk membuat tamunya betah, senang, gembira, dan terkadang dianggap sebagai keluarga. Sehingga istilah « Orang Asing » tidak dijumpai. Selama Agama Hindu masih berkembang di Bali, maka kita tidak merasa khawatir akan terjadinya pencemaran seni budaya, seperti yang telah dirisaukan oleh banyak kalangan.
            Pariwisata telah memaksa masyarakat Bali menjadi bagian dari masyarakat internasional yang multi budaya dan juga komunitas wisata. Yang secara tidak sadar telah membawa masyarakat lokal terjepit antara manjaga tradisi dan adat budaya (yang merupakan komoditas yang dapat dijual), sementara di sisi lain proses internasionalisasi melalui pariwisata berarti membenturkan kebudayaan tersebut dengan dunia modern
            Internasionalisasi dan globalisasi budaya selalu menimbulkan pertanyaan akan identitas budaya dan manusia lokal. Ada asumsi umum bahwa dalam proses internasionalisasi dan medernisasi, masyarakat lokal akan terjepit, termaginalisasi, dan kehilangan identitas budayanya. Kenyataannya, meskipun budaya pariwisata telah menjadi budaya Bali, dan Bali telah mengalami proses touristification, identitas budaya masyarakat Bali masih tetap, bahkan menguat. Temuan-temuan lapangan juga menunjukkan bahwa kebudayaan Bali sampai saat ini masih sangat kuat melekat pada identitas orang Bali, dan kekhawatiran bahwa simpul-simpul budaya telah tercerai-berai tidaklah benar. Meskipun telah lama terjadi kontak yang intensif dengan pariwisata, identitas ke-Bali-an ternyata menguat dengan semakin derasnya arus internasionalisasi.
            Dalan jurnal "CULTURAL TOURISM" IN BALI: CULTURAL PERFORMANCES AS TOURIST ATTRACTION oleh Michel Picard, pendapat senada juga dilontarkan. Budaya Bali terdefinisikan, dan budaya Bali terkenal karena memiliki ketahanan dinamis. Orang Bali dipuji karena kemampuan mereka untuk meminjam dan mamakai pengaruh asing sesuai dengan kepentingan mereka, namun tetap mempertahankan identitas selama berabad-abad.
            Orang Bali tampaknya menghadapi invasi wisata dari orang lain, yaitu mereka mengambil apa yang mereka inginkan, tetapi mereka tidak membiarkan diri mereka kehilangan ke-Bali-annya. Hal ini tampaknya telah tercatat dalam sejarah Bali, budaya luar telah datang, mungkin sebagai penakluk, mungkin hanya sebagai pengunjung dan pedagang, tetapi masyarakat dan budaya Bali tetap khas, menerima bentuk-bentuk lahiriah, tetapi mampu beradaptasi sesuai dengan kepentingan mereka
            Untuk mendukung poin diatas, McKean membuat konsespsi budaya sebagai « Pertunjukkan » yang dikemukakan oleh Milton Singer. Berbagai manifestasi kebudayaan Bali sebagai pertunjukkan budaya, untuk Tuhan, masyarakat Bali dan wisatawan. Pertunjukkan untuk penonton ilahi, menjamin preservasi nilai-nilai tradisional, sedangkan pertunjukkan yang disuguhkan kepada wisatawan biasanya hanya untuk tujuan komersial dan sangat sedikit arti religius.
            Namun tidak jarang, konversi budaya dari yang sebelumnya untuk pertunjukkan religius menjadi pertunjukkan wisata menimbulkan berbagai permasalahan. Berdasarkan hasil  Seminar Seni Sakral dan Provan Bidang Tari (Denpasar, 1971), tari Bali di klasifikasikan menjadi 3, yaitu Tari Wali (tari suci san sakral), Tari Bebali (Tari untuk upacara) dan Tari Balih-balihan (Tari pertunjukkan).
            Sebagai fakta bahwa pertunjukkan pariwisata juga merupakan bagian dari tradisi masyarakat Bali. Dan para phak berwenang tampaknya menunjukkan kepeduliannya terhadap perlindungan budaya, namun juga mengambilo keuntungan dari Bali sebagai pasar wisata yang sukses. Dilema antara yang mana merupakan budaya, dan yang mana merupakan atraksi.
            Masyarakat Bali memandang budayanya sebagai warisan kebudayaan, yang mana mereka harus jaga. Dan juga sebagai modal pariwisata yang bisa mereka eksploitasi. Dengan kata lain, budaya mereka telah memberikan suatu ciri khas, dan juga suatu cap produk pariwisata
Bisakah masyarakat Bali selamat dari dampak pariwisata? pariwisata bukan sauatu kekuatan yang menyerang dari luar, namun suatu proses pengubahan masyarakat dari dalam, dan sekarang pariwisata menjadi bagian integral dalam bultur masyarakat Bali.

Kesimpulan
            Keterkaitan dua jurnal diatas dengan proposal thesis saya, adalah persamaan antara dampak globalisasi dan pariwisata terhadap kebudayaan Bali. Kekhawatiran benayak pihak terhadap komodifikasi budaya dan perubahan di masyarakat Bali. Dalam proposal disebutkan bahwa banyak turis asing yang lama bermukim di Bali, mengalami pengalaman spiritual dan ingin berpartisipassi dalam kegiatan tradisional masyarakat Bali. Dalam upacara Ngaben Massal yang diadakan di Desa Pakraman Muncan, banyak orang asing yang ikut dalam upacara tersebut. Walaupun mereka belum tentu beragama Hindu.
            Inilah yang menarik untuk dicermati, apakah ini karena pengaruh globalisasi?atau watak masyarakat yang memang pluralis? Ataukah seuatu kesadaran spiritual terjadi jauh diatas kesadaran beragama. Hal tersebut dapat dijawab dengan penelitian yang lebim mendalam, beserta data-data yang akan dikumpulkan. Namun, jangan lupa bahwa Hindu adalah agama yang bersifat universal terbuka dan fleksibel, dan tidak semua hal bisa dikatakan sebagai pelecehan dan komodifikasi.

Denpasar, 24 April 2011

Nararya Narottama

No comments:

Post a Comment